Ketika suku bunga naik, banyak investor mulai menimbang ulang antara saham vs obligasi. Keduanya sama-sama penting dalam portofolio, tetapi efek kenaikan suku bunga terhadap return bisa sangat berbeda.
Kondisi seperti ini biasanya menguji strategi diversifikasi setiap investor. Saham cenderung tertekan, sementara obligasi yang dulu dianggap aman justru bisa mengalami koreksi nilai.
Lalu, bagaimana cara menavigasi perubahan ini dengan cerdas dan kapan saatnya melakukan rotasi ke aset berpendapatan tetap?
Dampak Kenaikan Suku Bunga terhadap Saham
Saat suku bunga naik, biaya pinjaman meningkat. Perusahaan harus membayar bunga lebih tinggi untuk ekspansi, dan konsumen cenderung menahan pengeluaran. Akibatnya, laba perusahaan menurun, sehingga valuasi saham ikut tertekan.
Kenaikan suku bunga juga membuat investor lebih memilih aset berisiko rendah karena imbal hasil deposito dan obligasi menjadi lebih menarik. Ini menyebabkan perpindahan dana (outflow) dari saham ke instrumen pendapatan tetap.
Contoh nyatanya terlihat pada 2022, ketika Federal Reserve menaikkan suku bunga secara agresif. Indeks S&P 500 turun sekitar 19%, sementara imbal hasil obligasi pemerintah AS melonjak.
Tekanan terbesar biasanya terjadi pada saham growth seperti teknologi, karena valuasinya bergantung pada proyeksi laba masa depan yang kini didiskon lebih tinggi.
Namun, tidak semua sektor terdampak sama. Sektor seperti keuangan, energi, dan consumer staples biasanya lebih tangguh karena memiliki model bisnis yang stabil atau diuntungkan dari margin bunga yang melebar.
Dampak Kenaikan Suku Bunga terhadap Obligasi
Meski disebut βaman,β obligasi juga bisa tertekan saat suku bunga naik. Hubungannya terbalik: ketika suku bunga naik, harga obligasi turun. Investor akan lebih memilih surat utang baru dengan kupon yang lebih tinggi, membuat obligasi lama kehilangan daya tarik.
Namun, ada satu sisi positif: yield yang meningkat berarti potensi imbal hasil masa depan lebih menarik bagi investor jangka panjang.
Mengutip Bloomberg, pada periode 2018β2019, obligasi jangka pendek mencatatkan performa lebih baik dibanding jangka panjang, karena volatilitas suku bunga membuat investor mencari durasi lebih pendek.
Artinya, dalam periode pengetatan moneter, rotasi ke obligasi berjangka pendek atau reksa dana pasar uang bisa menjadi strategi defensif yang bijak.
Kapan Rotasi ke Fixed Income Lebih Menarik
Rotasi ke fixed income (obligasi dan instrumen pendapatan tetap) biasanya lebih menarik ketika:
- Suku bunga mendekati puncak siklus. Setelah kenaikan agresif, bank sentral cenderung menahan level bunga tinggi untuk menekan inflasi. Pada fase ini, yield obligasi sudah cukup tinggi untuk memberikan kompensasi risiko yang menarik.
- Inflasi mulai melandai. Saat inflasi mulai stabil, risiko penurunan harga obligasi berkurang. Investor bisa mulai membangun posisi untuk mengunci imbal hasil jangka panjang.
- Likuiditas pasar mengetat. Dalam ekonomi yang ketat, perusahaan cenderung memperlambat ekspansi dan laba stagnan. Investor defensif biasanya berpindah ke aset dengan arus kas stabil seperti obligasi.
Namun, penting diingat bahwa rotasi tak berarti meninggalkan saham sepenuhnya.
Dalam jangka panjang, saham tetap menjadi sumber pertumbuhan utama; hanya saja porsinya perlu disesuaikan.
Strategi Alokasi Aset Dinamis Saat Ekonomi Ketat
Kunci menghadapi fase suku bunga tinggi adalah alokasi aset yang dinamis. Tidak ada komposisi tetap, tetapi berikut panduan yang bisa membantu:
- Pertahankan likuiditas. Simpan sebagian dana di instrumen pasar uang agar fleksibel menghadapi peluang baru.
- Kurangi eksposur pada sektor sensitif bunga. Seperti properti dan teknologi, jika valuasi masih tinggi.
- Tambah porsi pada aset defensif. Seperti consumer staples, healthcare, dan obligasi berjangka pendek.
- Gunakan strategi diversifikasi lintas aset. Kombinasi saham, obligasi, dan ETF tematik global bisa mengurangi risiko pasar.
- Manfaatkan platform dengan fitur otomatis. Misalnya, pengaturan alert harga, alokasi ulang berkala, atau fractional investing agar portofolio tetap seimbang.
Menurut Morningstar, investor yang menerapkan pendekatan dynamic allocation cenderung memiliki volatilitas portofolio 20β30% lebih rendah dibanding yang hanya fokus pada satu kelas aset.
Insight untuk Investor Retail
Bagi investor retail, situasi suku bunga tinggi bukan alasan untuk berhenti berinvestasi.
Justru ini saat yang baik untuk menata ulang portofolio dan memastikan keseimbangannya sesuai profil risiko. Perhatikan bahwa rotasi aset bukan sekadar mengikuti tren pasar, melainkan bagian dari strategi manajemen risiko jangka panjang.
Fokuslah pada nilai jangka panjang dan arus kas stabil, bukan pergerakan jangka pendek.
Kesimpulan
Dalam kondisi suku bunga naik, perdebatan antara saham vs obligasi tak memiliki jawaban mutlak. Saham tetap relevan untuk pertumbuhan jangka panjang, sementara obligasi menawarkan stabilitas dan arus kas di tengah ketidakpastian.
Kombinasi keduanya, dengan pendekatan strategi diversifikasi dan alokasi aset dinamis, adalah kunci menghadapi siklus ekonomi yang berubah.
Jika kamu ingin mulai mengatur ulang portofolio dengan cara yang lebih cerdas dan terukur, gunakan aplikasi yang memungkinkan investasi lintas aset global; semuanya bisa kamu lakukan langsung di Gotrade.
FAQ
1. Apakah sebaiknya menjual semua saham saat suku bunga naik?
Tidak. Fokuslah pada sektor yang lebih tahan terhadap tekanan suku bunga, seperti energi dan consumer staples, sambil menyesuaikan alokasi ke aset pendapatan tetap.
2. Apakah obligasi selalu aman saat ekonomi melemah?
Tidak selalu. Harga obligasi bisa turun jika inflasi masih tinggi. Pilih durasi pendek untuk mengurangi risiko volatilitas.
3. Bagaimana cara menjaga risiko portofolio di fase suku bunga tinggi?
Gunakan diversifikasi lintas aset, atur ulang rasio saham dan obligasi secara berkala, serta manfaatkan fitur otomatis di platform trading untuk menjaga disiplin.
Disclaimer
PT Valbury Asia Futures Pialang berjangka yang berizin dan diawasi OJK untuk produk derivatif keuangan dengan aset yang mendasari berupa Efek.




