Dalam dunia investasi, tidak sedikit investor yang terbawa arus euforia pasar. Ketika harga saham melonjak tajam, muncul rasa takut ketinggalan momentum, fenomena ini dikenal sebagai panic buying. Banyak yang membeli hanya karena melihat orang lain untung besar, bukan karena analisis matang. Akibatnya, keputusan diambil secara impulsif, dan kerugian justru datang saat euforia memudar.
Panic buying adalah manifestasi dari psikologi investasi yang dipicu oleh emosi, terutama fear of missing out (FOMO). Nah, Gotrade akan membantu kamu untuk menghindari FOMO dan panic buying dengan membahas apa itu panic buying, tanda-tanda euforia pasar, serta strategi agar kamu tetap rasional.
Apa Itu Panic Buying?
Panic buying adalah aksi membeli saham secara berlebihan karena takut kehilangan peluang keuntungan.
Biasanya terjadi saat pasar sedang bullish atau ketika ada sentimen positif yang mendadak, seperti laporan keuangan luar biasa, berita merger, atau tren global yang sedang hype, menurut Investopedia.
Contoh terdekat adalah saat saham teknologi melonjak di masa pandemi. Banyak investor pemula ikut membeli tanpa perhitungan karena melihat grafik harga terus naik, hanya untuk mendapati harga anjlok ketika tren mulai berbalik.
Fenomena ini bukan hanya soal logika pasar, tetapi tentang perilaku massa. Ketika terlalu banyak orang percaya harga akan terus naik, permintaan meningkat pesat dan menciptakan bubble jangka pendek yang berisiko meledak kapan saja.
Tanda-Tanda Euforia Pasar dan Panic Buying
1. Lonjakan harga yang tidak masuk akal
Jika harga saham naik terlalu cepat tanpa dukungan kinerja fundamental, itu bisa menjadi tanda euforia. Contohnya, valuasi perusahaan melonjak meskipun laba tidak berubah signifikan.
2. Volume perdagangan melonjak drastis
Lonjakan volume mendadak biasanya menandakan banyak trader baru masuk karena rasa FOMO. Ketika arus beli melambat, harga bisa jatuh dengan cepat.
3. Berita positif disambut berlebihan
Ketika berita yang seharusnya “biasa saja” memicu lonjakan harga besar, itu indikasi pasar sedang overreact.
4. Narasi “pasti naik” mulai mendominasi
Ketika diskusi publik atau media sosial mulai menggambarkan saham tertentu seolah tidak mungkin turun, itu tanda fase euforia ekstrem, biasanya mendahului koreksi besar.
5. Investor tidak lagi peduli valuasi
Fokus berpindah dari analisis fundamental ke harga jangka pendek. Banyak yang membeli hanya karena “semua orang beli,” bukan karena memahami bisnis perusahaan.
Faktor Psikologis di Balik Panic Buying
1. Fear of Missing Out (FOMO)
FOMO membuat investor merasa tertinggal dari orang lain. Ketika melihat teman atau influencer mendapat untung cepat, muncul dorongan emosional untuk ikut tanpa riset lebih dulu.
2. Herd Mentality
Manusia cenderung mengikuti mayoritas. Dalam pasar, perilaku ini menyebabkan pergerakan harga ekstrem karena banyak orang melakukan hal yang sama secara bersamaan.
3. Overconfidence
Setelah berhasil beberapa kali, investor merasa semua keputusan berikutnya pasti benar. Overconfidence ini memperkuat perilaku panic buying karena keyakinan berlebihan pada intuisi pribadi.
4. Dopamin dan adrenalin
Lonjakan harga memberi rasa “senang” seperti kemenangan kecil. Otak mengasosiasikan perasaan ini dengan pembelian cepat, sehingga perilaku impulsif makin sulit dikendalikan.
Dampak Panic Buying terhadap Portofolio
Panic buying sering kali menghasilkan keputusan tidak rasional yang mengacaukan strategi investasi jangka panjang.
Beberapa dampak umumnya, menurut EBSCO, antara lain:
- Membeli di harga puncak dan menjual di harga bawah saat panik.
- Mengabaikan diversifikasi karena terlalu fokus pada saham tertentu.
- Terjebak dalam siklus emosional antara fear dan greed.
- Portofolio menjadi tidak seimbang akibat keputusan reaktif.
Strategi agar Tetap Rasional
1. Buat rencana investasi yang jelas
Tentukan target keuntungan, batas risiko, dan jangka waktu investasi sejak awal. Rencana yang matang membantu kamu tetap fokus pada strategi, bukan emosi.
2. Gunakan analisis fundamental
Jangan hanya beli karena harga naik. Pastikan kamu memahami pendapatan, laba, dan prospek jangka panjang perusahaan yang kamu beli.
3. Terapkan position sizing
Batasi jumlah dana yang dialokasikan untuk satu saham. Dengan begitu, kamu tetap aman jika harga bergerak berlawanan dengan prediksi.
4. Hindari keputusan saat pasar sedang euforia
Jika pasar sedang sangat bullish, lebih baik menunggu koreksi atau memastikan sinyal teknikal mendukung. Disiplin menunggu sering kali lebih menguntungkan daripada ikut-ikutan.
5. Gunakan sistem otomatis
Dengan fitur auto-invest atau auto-order di aplikasi trading, kamu bisa meminimalkan keputusan impulsif. Strategi ini membantu menjaga konsistensi dan disiplin investasi.
Contoh Panic Buying
Kasus terkenal terjadi pada tahun 2021 saat saham GameStop (GME) melonjak tajam karena dorongan komunitas Reddit. Banyak investor pemula membeli di harga tinggi karena takut ketinggalan tren.
Namun, hanya dalam beberapa minggu, harga jatuh lebih dari 70%, meninggalkan kerugian besar bagi mereka yang masuk di puncak.
Hal ini menjadi pengingat penting bahwa pasar tidak selalu rasional. Di balik setiap euforia, ada risiko besar yang sering diabaikan.
Kesimpulan
Panic buying adalah bentuk perilaku investasi emosional yang sering kali merugikan. Saat pasar sedang euforia, disiplin dan analisis rasional menjadi perisai terbaik untuk melindungi modal.
Jangan biarkan FOMO menguasai keputusanmu. Pelajari strategi untuk trading saham secara rasional dan bijak di aplikasi Gotrade. Dengan Gotrade, kamu bisa mulai berinvestasi di saham, ETF, dan options AS mulai dari 1 dolar AS dengan cara yang lebih terencana.
FAQ
Apakah panic buying hanya terjadi di saham?
Tidak. Fenomena ini bisa terjadi di berbagai aset seperti kripto, emas, atau bahkan properti, terutama saat ada lonjakan harga ekstrem.
Bagaimana cara mengendalikan emosi saat pasar naik cepat?
Gunakan aturan tetap seperti stop loss dan take profit, serta hindari media sosial keuangan yang bisa memicu FOMO berlebihan.
Disclaimer: PT Valbury Asia Futures Pialang berjangka yang berizin dan diawasi OJK untuk produk derivatif keuangan dengan aset yang mendasari berupa Efek.











