Tahu cara mengukur risiko portofolio bukan hanya untuk investor profesional. Siapa pun bisa melakukannya dengan alat sederhana dan sedikit pemahaman tentang konsep dasar seperti volatilitas, beta, dan risk-return ratio.
Sayangnya, banyak investor hanya fokus pada imbal hasil tanpa benar-benar memahami seberapa besar risiko yang mereka ambil.
Lewat artikel ini, Gotrade akan menjelaskan cara mengukur risiko portofolio dengan mudah agar kamu bisa berinvestasi lebih terarah dan tenang, tanpa harus menebak-nebak pergerakan pasar.
Kenapa Risiko Perlu Diukur?
Risiko investasi adalah kemungkinan hasil aktual berbeda dari yang diharapkan. Artinya, semakin besar potensi keuntungan, biasanya semakin tinggi pula risikonya.
Melansir Investopedia, mengukur risiko membantu kamu untuk:
- Memahami seberapa besar fluktuasi yang bisa terjadi di portofolio.
- Menentukan alokasi aset yang sesuai dengan profil risiko pribadi.
- Mengetahui kapan portofolio perlu di-rebalance (disesuaikan kembali).
Dengan kata lain, risk management bukan tentang menghindari risiko, tetapi mengelolanya secara bijak.
Cara Mengukur Risiko Portofolio
1. Risk-Return Ratio: seberapa seimbang investasimu?
Konsep pertama yang perlu kamu pahami adalah risk-return ratio, yaitu perbandingan antara potensi imbal hasil dan risiko yang diambil.
Misalnya:
- Saham A menawarkan potensi keuntungan 10% per tahun dengan risiko fluktuasi 5%.
- Saham B menawarkan potensi keuntungan 8% per tahun dengan risiko fluktuasi 2%.
Meski saham A terlihat lebih menarik, sebenarnya Saham B memiliki rasio risiko–imbal hasil yang lebih efisien.
Secara umum, semakin tinggi return yang diharapkan per unit risiko, semakin baik kualitas portofolio tersebut. Investor profesional sering menggunakan Sharpe Ratio untuk menilainya.
Namun, kamu juga bisa menilai secara sederhana dengan membandingkan volatilitas dan potensi return antar aset.
2. Beta: ukur seberapa sensitif portofoliomu terhadap pasar
Indikator penting lainnya adalah beta, yaitu ukuran seberapa besar pergerakan portofolio kamu dibandingkan dengan pasar, misalnya indeks S&P 500.
- Jika beta = 1, berarti portofolio bergerak searah dan sekuat pasar.
- Jika beta > 1, portofolio lebih fluktuatif dari pasar (risiko lebih tinggi).
- Jika beta < 1, portofolio lebih stabil dari pasar (risiko lebih rendah).
Contoh: ETF seperti Invesco QQQ (Nasdaq 100) punya beta sekitar 1.2, menandakan ia lebih sensitif terhadap perubahan pasar teknologi.
Sedangkan ETF seperti Vanguard Dividend ETF (VIG) punya beta sekitar 0.8, cenderung lebih defensif.
Dengan memadukan aset ber-beta tinggi dan rendah, kamu bisa membentuk portofolio yang sesuai dengan toleransi risiko pribadi.
3. Volatilitas: fluktuasi harga yang perlu dipahami
Volatilitas menggambarkan seberapa besar harga suatu aset berubah dalam periode tertentu. Semakin tinggi volatilitas, semakin besar kemungkinan harga naik atau turun tajam dalam waktu singkat.
Melansir Corporate Finance Institute, volatilitas sering diukur menggunakan standard deviation (simpangan baku) dari return historis. Namun, untuk investor ritel, cukup pahami bahwa:
- Saham teknologi cenderung volatil tinggi, cocok untuk jangka panjang.
- Saham dividen atau ETF defensif punya volatilitas rendah, cocok untuk stabilitas portofolio.
Contoh: QQQ (Nasdaq 100) memiliki volatilitas historis sekitar 20–25%. SCHD (Schwab Dividend ETF) hanya sekitar 10–12%.
Jika kamu tidak nyaman melihat fluktuasi besar dalam portofolio, pastikan komposisinya condong ke aset berisiko rendah seperti ETF dividen atau indeks pasar luas.
4. Diversifikasi: cara termudah mengurangi risiko
Diversifikasi adalah kunci utama dalam manajemen risiko. Dengan menyebar investasi ke berbagai sektor, negara, dan jenis aset, kamu bisa mengurangi dampak dari satu saham atau sektor yang berkinerja buruk.
Misalnya:
- Kombinasikan saham AS (QQQ atau SPY) dengan ETF emerging markets (VWO) atau dividend ETF (SCHD).
- Tambahkan sebagian kecil aset seperti emas atau ETF sektor defensif untuk stabilitas tambahan.
Prinsipnya sederhana: “Jangan menaruh semua telur di satu keranjang.” Diversifikasi membuat portofolio kamu lebih tahan terhadap guncangan pasar jangka pendek.
Tips Praktis untuk Mengelola Risiko
Berikut panduan singkat agar pengelolaan risiko portofoliomu semakin efektif:
- Kenali profil risiko diri sendiri: Tentukan apakah kamu tipe konservatif, moderat, atau agresif.
- Gunakan strategi Dollar-Cost Averaging (DCA): Beli saham atau ETF secara berkala agar harga rata-rata tetap stabil.
- Lakukan evaluasi rutin: Setidaknya setiap 6–12 bulan, tinjau ulang portofolio agar tetap sesuai dengan tujuan dan kondisi pasar.
- Jangan panik saat volatilitas naik: Fluktuasi adalah bagian alami dari investasi. Fokus pada horizon jangka panjang.
Kesimpulan
Mengukur risiko portofolio tidak serumit yang dibayangkan. Dengan memahami konsep dasar seperti risk-return ratio, beta, dan volatilitas, kamu bisa menilai seberapa besar risiko yang sedang kamu ambil dan apakah sesuai dengan tujuan investasimu.
Kamu bisa membangun dan memantau portofolio global dengan mudah, mulai dari saham teknologi seperti Apple (AAPL) hingga ETF global, semua dalam satu aplikasi dengan modal mulai Rp15.000. Tap tombol di bawah untuk mulai investasi!
Investasi cerdas dimulai dari mengenal risiko. Semakin kamu pahami risikonya, semakin kuat fondasi portofoliomu.
FAQ
1. Apa indikator paling mudah untuk mengukur risiko portofolio?
Untuk pemula, cukup pantau volatilitas dan distribusi aset di portofolio.
2. Bagaimana cara tahu kalau portofolio terlalu berisiko?
Jika fluktuasinya membuat kamu gelisah atau tidak bisa tidur nyenyak, berarti alokasinya terlalu agresif.
3. Apakah Gotrade menyediakan data risiko seperti beta dan volatilitas?
Kamu bisa melihat data tersebut lewat deskripsi saham atau ETF yang tersedia di Gotrade, serta pantau tren harga historisnya.
Disclaimer
PT Valbury Asia Futures adalah Pialang berjangka yang berizin dan diawasi OJK untuk produk derivatif keuangan dengan aset yang mendasari berupa Efek.











