Banyak investor pemula sering panik saat melihat harga saham anjlok drastis. Mereka buru-buru menjual seluruh portofolio tanpa analisis yang matang. Fenomena ini dikenal dengan istilah panic selling.
Padahal, panic selling adalah salah satu bentuk emotional investing yang bisa merugikan investor dalam jangka panjang. Maka, untuk membantu kamu menghindari panic selling, berikut pemaparan lengkapnya dari Gotrade.
Apa Itu Panic Selling?
Panic selling adalah kondisi ketika investor menjual saham atau aset investasi secara terburu-buru karena rasa takut akan kerugian lebih besar. Keputusan diambil bukan berdasarkan analisis fundamental atau teknikal, melainkan karena dorongan emosi.
Dalam situasi ini, melansir Investopedia, logika sering kali tersingkir. Investor lebih fokus pada kerugian jangka pendek ketimbang prospek jangka panjang. Akibatnya, mereka bisa kehilangan kesempatan ketika harga saham kembali pulih.
Penyebab Panic Selling
Ada beberapa faktor yang bisa memicu terjadinya panic selling:
- Koreksi pasar mendadak: penurunan tajam dalam indeks saham sering membuat investor panik. Misalnya, saat indeks turun 5–10% dalam sehari.
- Berita negatif: isu resesi, perang, kebangkrutan perusahaan, atau laporan keuangan buruk bisa memicu kepanikan massal.
- Efek domino investor lain: melihat banyak orang menjual saham bisa menimbulkan “herd behavior”, di mana investor ikut-ikutan tanpa berpikir panjang.
- Kurangnya pemahaman: pemula yang belum paham mekanisme pasar lebih mudah terjebak panic selling karena tidak punya kerangka berpikir jangka panjang.
- Leverage berlebihan: penggunaan margin trading membuat risiko membesar. Sedikit penurunan harga saja bisa menghapus modal sehingga memicu kepanikan.
- Psikologi kolektif: media sosial sering memperparah kepanikan karena berita buruk cepat menyebar, memperbesar rasa takut.
Dampak Panic Selling
Panic selling bisa membawa sejumlah dampak negatif, melansir Forbes, antara lain:
- Kerugian permanen: investor merealisasikan kerugian yang sebenarnya masih bisa pulih jika menunggu.
- Kehilangan peluang rebound: banyak saham justru naik tajam setelah fase crash berakhir.
- Psikologis terganggu: trauma akibat rugi besar membuat investor takut kembali ke pasar.
- Portofolio berantakan: menjual semua aset tanpa strategi membuat tujuan investasi jangka panjang terganggu.
- Kesalahan ganda: sering kali investor menjual di harga rendah, lalu membeli lagi saat harga sudah naik, sehingga rugi dua kali.
Tips Menghindari Panic Selling
Agar tidak terjebak dalam pola pikir emosional, berikut beberapa tips praktis:
1. Pahami profil risiko
Setiap investor punya toleransi risiko berbeda. Jika kamu tipe konservatif, pilih saham defensif atau ETF indeks yang lebih stabil.
2. Fokus jangka panjang
Pasar saham memang fluktuatif dalam jangka pendek. Namun, sejarah menunjukkan tren jangka panjang cenderung naik. Ingatlah tujuan investasi 5–10 tahun ke depan.
3. Gunakan strategi Dollar Cost Averaging (DCA)
Dengan membeli saham secara rutin dalam jumlah tetap, kamu bisa mengurangi efek volatilitas pasar. Strategi ini membantu tetap disiplin meski pasar sedang turun.
4. Siapkan dana darurat
Investor yang punya dana darurat cenderung lebih tenang menghadapi crash karena tidak perlu menjual saham untuk kebutuhan mendesak.
5. Batasi paparan berita negatif
Terlalu sering membaca berita buruk bisa memicu overthinking. Pilih sumber informasi yang kredibel dan jangan ikut-ikutan panik di media sosial.
6. Diversifikasi portofolio
Jangan hanya menaruh dana pada satu saham atau sektor. Diversifikasi membantu meredam risiko ketika salah satu sektor jatuh.
7. Tetapkan rencana exit sebelum membeli
Sebelum masuk ke saham, tentukan target profit dan batas kerugian (stop loss). Dengan begitu, keputusanmu lebih rasional dan tidak dipengaruhi emosi sesaat.
Contoh Menghadapi Panic Selling Saat Crash
Ambil contoh krisis pandemi COVID-19 pada Maret 2020. Saat itu, indeks saham global termasuk S&P 500 anjlok lebih dari 30% dalam waktu singkat. Banyak investor panik menjual aset mereka.
Namun, investor yang menahan diri justru menikmati keuntungan besar ketika pasar pulih. Dalam waktu kurang dari setahun, S&P 500 kembali naik bahkan melampaui level sebelum pandemi.
Contoh lain terjadi pada saham teknologi. Ketika harga saham besar seperti Apple, Amazon, dan Microsoft terkoreksi karena kebijakan suku bunga, sebagian investor panik melepas saham. Namun, mereka yang tetap bertahan atau menambah posisi justru diuntungkan saat valuasi kembali meningkat.
Kesimpulan
Singkatnya, panic selling adalah salah satu kesalahan klasik dalam berinvestasi saham yang biasanya muncul karena emosi. Ini bagian dari emotional investing yang perlu dihindari. Penyebabnya bisa karena berita negatif, koreksi pasar, atau kurangnya pengetahuan.
Daripada terburu-buru menjual, investor pemula sebaiknya mempersiapkan strategi jangka panjang, disiplin dalam diversifikasi, serta mengandalkan analisis objektif. Ingat, pasar saham selalu bergerak naik turun, tetapi konsistensi akan memberi hasil yang lebih baik dalam jangka panjang.
Kini, kamu bisa belajar berinvestasi dengan lebih tenang dengan gabung di Gotrade. Akses saham-saham Amerika populer seperti Tesla, Apple, dan Microsoft mulai dari hanya 1 Dolar AS, tanpa ribet dan dengan platform yang mudah digunakan serta transparan.
Jangan biarkan emosi mengendalikan keputusanmu. Mulailah investasi yang aman dan cerdas sekarang juga!
FAQ
1. Apa itu panic selling dalam investasi saham?
Panic selling adalah kondisi ketika investor menjual saham secara tergesa-gesa karena panik, biasanya saat pasar turun drastis, tanpa analisis yang matang.
2. Bagaimana cara menghindari panic selling?
Cara terbaik adalah dengan memahami profil risiko, fokus pada tujuan jangka panjang, dan menggunakan strategi seperti Dollar Cost Averaging (DCA) agar tidak terlalu terpengaruh fluktuasi harga jangka pendek.
Disclaimer: PT Valbury Asia Futures Pialang berjangka yang berizin dan diawasi OJK untuk produk derivatif keuangan dengan aset yang mendasari berupa Efek.