Dalam analisis fundamental, salah satu metrik penting untuk menilai kesehatan keuangan jangka pendek perusahaan adalah working capital ratio.
Rasio ini membantu investor memahami apakah perusahaan memiliki cukup aset lancar untuk menutupi kewajiban lancarnya, dengan kata lain, apakah bisnis tersebut mampu bertahan dari tekanan kas jangka pendek.
Dengan mengetahui working capital ratio, kamu dapat menilai seberapa efisien perusahaan mengelola likuiditasnya dan seberapa aman posisinya terhadap risiko kebangkrutan.
Makanya, Gotrade akan membahas rumus, interpretasi hasil, serta hubungan rasio ini dengan solvabilitas perusahaan.
Apa Itu Working Capital Ratio?
Working capital ratio, atau current ratio, mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek menggunakan aset lancar (current assets).
Rasio ini menjadi indikator utama likuiditas perusahaan; semakin tinggi nilainya, semakin besar kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansialnya.
Melansir Investopedia, rasio ini sangat relevan untuk menilai keamanan finansial jangka pendek, terutama pada perusahaan di sektor manufaktur, ritel, atau perdagangan yang memiliki banyak kewajiban operasional.
Rumus Working Capital Ratio
Untuk menghitung rasio working capital, kamu bisa menggunakan rumus ini:
Working Capital Ratio = Current Assets / Current Liabilities
Keterangan:
- Current Assets: kas, piutang, dan persediaan yang bisa dicairkan dalam waktu kurang dari satu tahun.
- Current Liabilities: kewajiban jangka pendek seperti utang usaha, biaya akrual, dan pinjaman jangka pendek.
Contoh perhitungan: Jika suatu perusahaan memiliki aset lancar sebesar Rp600 miliar dan kewajiban lancar Rp400 miliar, maka:
600 / 400 = 1,5
Artinya, untuk setiap Rp1 kewajiban jangka pendek, perusahaan memiliki Rp1,5 aset lancar untuk menutupinya.
Interpretasi Working Capital Ratio
Interpretasi rasio ini tidak bisa dilihat secara absolut; melainkan perlu disesuaikan dengan karakteristik industri dan model bisnis perusahaan.
1. Rasio < 1,0 → Risiko Likuiditas Tinggi
Artinya, aset lancar perusahaan tidak cukup untuk menutup kewajiban lancar. Kondisi ini bisa menjadi tanda bahwa perusahaan mengalami kesulitan kas atau bergantung pada pembiayaan eksternal.
Contoh: Perusahaan dengan rasio 0,8 berarti hanya memiliki Rp0,80 aset untuk setiap Rp1 utang lancar.
Sektor padat modal seperti konstruksi dan energi sering memiliki rasio rendah karena siklus kasnya panjang.
2. Rasio 1,0 – 2,0 → Likuiditas Sehat
Ini merupakan kisaran ideal bagi sebagian besar perusahaan. Perusahaan cukup likuid untuk memenuhi kewajiban, namun tidak memiliki kas berlebih yang menganggur.
Contoh: Perusahaan FMCG biasanya memiliki rasio 1,2–1,8 karena arus kas stabil dan perputaran persediaan cepat.
3. Rasio > 2,0 → Aset Tidak Efisien
Rasio terlalu tinggi bisa mengindikasikan manajemen yang kurang efisien dalam menggunakan aset lancar. Misalnya, terlalu banyak kas menganggur atau piutang yang tidak segera ditagih.
Contoh: Perusahaan dengan rasio 3,5 bisa jadi menyimpan kas besar tanpa digunakan untuk ekspansi atau investasi produktif.
Hubungan dengan Solvabilitas dan Efisiensi
Meskipun working capital ratio berfokus pada likuiditas jangka pendek, rasio ini juga memiliki kaitan erat dengan solvabilitas dan efisiensi manajemen aset.
Likuiditas dan Solvabilitas:
Perusahaan yang likuid cenderung lebih mampu memenuhi kewajiban jangka panjang karena tidak mengalami tekanan kas berlebih.
Namun, likuiditas tinggi tidak selalu berarti solvabilitas kuat; penting juga melihat rasio seperti debt-to-equity atau interest coverage ratio.
Efisiensi Operasional:
Rasio yang terlalu tinggi bisa menunjukkan aset tidak produktif, sedangkan rasio terlalu rendah bisa menandakan kesulitan kas. Investor perlu mencari keseimbangan antara kemampuan membayar dan efisiensi pengelolaan aset.
Melansir Corporate Finance Institute, perusahaan dengan working capital ratio stabil di atas 1,3 cenderung memiliki risiko gagal bayar lebih rendah dan profitabilitas lebih konsisten dibanding kompetitor di bawah 1,0.
Perbandingan Working Capital Ratio Antar Sektor
| Sektor | Kisaran Ideal | Keterangan |
|---|---|---|
| FMCG & Ritel | 1,2 – 1,8 | Likuiditas tinggi, perputaran cepat |
| Teknologi | 1,5 – 2,5 | Kas tinggi, utang jangka pendek minim |
| Energi & Komoditas | 0,8 – 1,5 | Siklus kas panjang, biaya produksi tinggi |
| Properti & Konstruksi | 0,7 – 1,2 | Ketergantungan besar pada proyek jangka panjang |
| Keuangan & Perbankan | 1,0 – 1,3 | Model bisnis berbasis arus kas rutin |
Cara Menggunakan Working Capital Ratio dalam Analisis Fundamental
- Bandingkan dengan industri sejenis: Setiap sektor memiliki struktur kas dan utang berbeda. Misalnya, rasio 1,0 bisa dianggap sehat untuk perusahaan infrastruktur, tapi terlalu rendah untuk ritel.
- Analisis tren beberapa tahun: Peningkatan rasio secara konsisten menandakan manajemen kas yang membaik, sedangkan penurunan tajam bisa menjadi peringatan likuiditas menurun.
- Kombinasikan dengan rasio keuangan lain: Gunakan bersama quick ratio dan cash ratio untuk menilai kualitas aset lancar dan tingkat ketergantungan terhadap persediaan.
- Pertimbangkan musim dan siklus bisnis: Perusahaan musiman seperti sektor pariwisata atau agrikultur dapat memiliki fluktuasi likuiditas tinggi tergantung waktu tertentu dalam setahun.
Kesimpulan
Working capital ratio merupakan indikator penting untuk menilai likuiditas jangka pendek dan kesehatan finansial perusahaan. Rasio ideal biasanya berada di kisaran 1,0–2,0, di mana perusahaan cukup mampu menutupi kewajiban tanpa menimbun aset berlebih.
Investor dapat menggunakan rasio ini bersama indikator lain untuk menilai stabilitas dan efisiensi perusahaan dalam mengelola aset serta utang jangka pendeknya.
Pantau performa keuangan perusahaan global dan pelajari rasio-rasio penting seperti ini langsung lewat Gotrade, cara mudah untuk memahami fundamental sebelum berinvestasi.
Mulai langkah cerdasmu di pasar saham bersama aplikasi Gotrade hari ini!
FAQ
1. Apakah working capital ratio sama dengan current ratio?
Ya, keduanya identik dan sering digunakan bergantian dalam analisis likuiditas.
2. Apakah rasio tinggi selalu baik?
Tidak selalu. Rasio terlalu tinggi bisa menunjukkan aset tidak produktif atau kas berlebih yang tidak diinvestasikan dengan efisien.
3. Bagaimana jika rasio di bawah 1,0?
Itu bisa menjadi tanda potensi kesulitan kas. Namun, perlu dilihat lebih lanjut apakah kondisi tersebut bersifat sementara atau struktural.
Disclaimer
PT Valbury Asia Futures Pialang berjangka yang berizin dan diawasi OJK untuk produk derivatif keuangan dengan aset yang mendasari berupa Efek.











