Setiap investor fundamental tahu bahwa mencari saham murah dengan potensi jangka panjang adalah inti dari value investing di era suku bunga tinggi. Namun, ketika suku bunga naik dan biaya modal meningkat, pendekatan klasik ini menghadapi tantangan baru di pasar yang lebih selektif dan berisiko.
Kondisi ini menuntut strategi yang lebih adaptif untuk menemukan saham undervalued tanpa terjebak pada valuasi murah semata.
Makanya, Gotrade akan membantu kamu memahami bagaimana era suku bunga tinggi memengaruhi value investing dan cara menyesuaikan strateginya agar tetap relevan.
Dampak Suku Bunga Tinggi terhadap Saham Value
1. Tekanan pada perusahaan padat utang
Perusahaan value umumnya beroperasi di sektor tradisional seperti manufaktur, keuangan, atau energi, yang sering memiliki beban utang besar.
Melansir Investopedia, kenaikan suku bunga berarti biaya bunga meningkat, yang pada akhirnya menekan profitabilitas.
2. Investor beralih ke aset aman
Saat suku bunga deposito dan obligasi naik, imbal hasil saham value yang cenderung stabil menjadi kurang menarik dibandingkan aset bebas risiko. Akibatnya, rotasi modal sering terjadi ke pasar obligasi.
3. Penilaian (valuasi) menjadi lebih ketat
Saham yang terlihat “murah” pada suku bunga rendah bisa menjadi terlalu mahal ketika cost of capital meningkat.
Rasio seperti Price to Earnings (P/E) atau Price to Book (P/B) harus ditinjau ulang dengan mempertimbangkan suku bunga acuan terbaru.
4. Sektor tertentu justru diuntungkan
Tidak semua saham value melemah di era suku bunga tinggi. Sektor keuangan seperti perbankan bisa diuntungkan karena margin bunga bersih meningkat. Sektor energi dan komoditas juga cenderung bertahan karena harga barang mentah sering naik seiring inflasi.
Melansir Cullen Funds, saham-saham value yang memiliki arus kas kuat dan dividen stabil justru bisa outperform dalam periode inflasi tinggi dan kebijakan moneter ketat.
Strategi Adaptif untuk Value Investor
1. Fokus pada kualitas, bukan hanya murah
Value investing modern bukan sekadar mencari saham dengan P/E rendah, tapi perusahaan dengan fundamental kuat, kas stabil, dan daya tahan tinggi terhadap siklus suku bunga. Pilih bisnis dengan utang rendah, laba konsisten, dan arus kas positif.
2. Gunakan pendekatan Quality Value
Pendekatan ini menggabungkan prinsip value dan kualitas bisnis. Carilah perusahaan dengan Return on Equity (ROE) tinggi, margin laba sehat, dan neraca solid.
Contohnya, saham-saham seperti Berkshire Hathaway atau UnitedHealth Group sering masuk kategori quality value karena tetap stabil di berbagai siklus ekonomi.
3. Pilih sektor defensif
Sektor yang permintaannya cenderung stabil seperti consumer staples, utilities, dan healthcare biasanya lebih tahan terhadap kenaikan suku bunga. Saham-saham di sektor ini memiliki pendapatan relatif konstan meski biaya modal meningkat.
4. Gunakan rasio valuasi relatif
Alih-alih hanya fokus pada P/E rendah, bandingkan valuasi perusahaan dengan rata-rata sektornya.
Jika P/E perusahaan lebih rendah dari rata-rata sektor namun memiliki margin laba lebih tinggi, itu bisa menjadi sinyal undervalued yang sehat. Hindari saham dengan valuasi rendah tapi tren laba menurun, karena bisa jadi itu value trap.
5. Perhatikan Free Cash Flow (FCF)
FCF yang kuat adalah indikator utama bahwa perusahaan bisa bertahan dalam periode bunga tinggi tanpa mengandalkan utang baru.
Perusahaan dengan arus kas sehat juga lebih mampu membayar dividen dan menahan tekanan biaya finansial.
6. Terapkan strategi bertahap (Scaling In)
Dalam kondisi pasar sensitif terhadap kebijakan suku bunga, jangan masuk penuh sekaligus.
Gunakan pendekatan scaling in, yaitu membeli bertahap untuk mengurangi risiko salah timing dan memanfaatkan peluang koreksi.
7. Kombinasikan dengan Dividend Investing
Saham-saham value yang rutin membayar dividen bisa menjadi sumber pendapatan pasif stabil saat capital gain sulit diraih.
Imbal hasil dividen (dividend yield) membantu mengimbangi efek negatif dari kenaikan suku bunga.
Contoh Kasus
Pada 2022–2023, The Fed menaikkan suku bunga dari 0,25% menjadi lebih dari 5%.
Dalam periode tersebut, sektor teknologi mengalami koreksi tajam, sementara saham-saham value seperti ExxonMobil (XOM) dan Coca-Cola (KO) justru outperform.
Investor yang fokus pada fundamental, arus kas, dan valuasi realistis mampu mempertahankan portofolionya tetap positif meskipun volatilitas pasar meningkat.
Kesalahan Umum Value Investor di Era Suku Bunga Tinggi
1. Terjebak di saham “murah tapi lemah”
Harga rendah tidak selalu berarti value. Banyak perusahaan murah karena prospek keuangannya memburuk akibat bunga tinggi.
2. Mengabaikan sektor yang diuntungkan
Banyak investor value terlalu fokus pada industri lama, padahal sektor keuangan dan energi justru diuntungkan di fase bunga tinggi.
3. Tidak memperhitungkan inflasi
Kenaikan suku bunga biasanya sejalan dengan inflasi tinggi. Tanpa memperhitungkan daya beli, valuasi bisa menyesatkan.
Kesimpulan
Value investing di era suku bunga tinggi tetap relevan, asal dijalankan dengan pendekatan modern yang menekankan kualitas dan fundamental kuat.
Fokuslah pada perusahaan dengan arus kas positif, utang rendah, dan daya tahan bisnis tinggi agar strategi value tetap efektif di tengah tekanan kebijakan moneter ketat.
Bangun portofolio saham berkualitas dan pantau performanya langsung via aplikasi Gotrade. Temukan data valuasi, laporan keuangan, hingga rasio fundamental dalam satu aplikasi yang mudah digunakan.
FAQ
1. Apakah value investing masih relevan di era bunga tinggi?
Ya, terutama untuk perusahaan dengan kas kuat dan utang rendah. Fokusnya bergeser dari “murah” menjadi “berkualitas”.
2. Sektor apa yang cocok untuk value investor saat suku bunga tinggi?
Sektor keuangan, energi, dan consumer staples cenderung lebih tahan terhadap fluktuasi bunga.
3. Apa risiko terbesar value investing di kondisi ini?
Value trap, yaitu saham tampak murah tetapi memiliki prospek pertumbuhan yang stagnan atau menurun.
Disclaimer
PT Valbury Asia Futures Pialang berjangka yang berizin dan diawasi OJK untuk produk derivatif keuangan dengan aset yang mendasari berupa Efek.











